Sengketa Kontraktor dan Subkontraktor: Penyebab, Dampak, dan Solusi Hukum

Oleh : Muhammad Ridhwan

Dalam dunia proyek konstruksi dan pengadaan barang/jasa, kerja sama antara kontraktor utama dan subkontraktor merupakan suatu hal yang umum. Namun, seperti dalam hubungan bisnis lainnya, tidak jarang terjadi perselisihan di antara keduanya. Permasalahan yang timbul seperti keterlambatan pembayaran, kegagalan memenuhi standar pekerjaan, atau pelanggaran kontrak kerap memicu sengketa.

Pengaturan mengenai usaha di bidang jasa konstruksi telah dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (selanjutnya disebut UU Jasa Konstruksi), yang dimaksud jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi konstruksi dan/atau pekerjaan konstruksi. Tujuan dari penyelenggaraan jasa konstruksi diantaranya memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi, menjamin tata kelola penyelenggaraan jasa konstruksi yang baik, mewujudkan ketertiban penyelenggaraan jasa konstruksi, meningkatkan partisipasi masyarakat, mewujudkan keselamatan publik, serta mewujudkan adanya integrasi nilai tambah

Dalam UU Jasa Konstruksi, terdapat istilah pekerjaan konstruksi yang termuat dalam Pasal 1 Angka 3 didefinisikan sebagai keseluruhan atau sebagian kegiatan meliputi pengkajian, perencanaan, pengawasan, dan manajemen penyelenggaraan konstruksi suatu bangunan. Pekerjaan konstruksi melibatkan dua pihak, yakni penyedia jasa konstruksi dan pengguna jasa konstruksi. Hubungan hukum yang dijalin antara penyedia jasa konstruksi dan pengguna jasa konstruksi berasal dari perjanjian yang disetujui oleh seluruh pihak yang terlibat dan kemudian dituliskan ke dalam kontrak.

Kontrak dalam Black’s Law Dictionary didefinisikan sebagai “agreement between two or more persons which creates an obligation to do or not a particular thing” atau dapat diartikan bahwa kontrak merupakan perjanjian antara dua orang atau lebih yang menimbulkan kewajiban untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu hal yang khusus sebagaimana yang tercantum dalam perjanjian. Dasar dari kontrak konstruksi adalah hukum perjanjian yang termasuk dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), di mana dalam Pasal 1233 KUHPerdata dimuat bahwasanya setiap perikatan yang ada bersumber dari perjanjian maupun Undang-Undang yang berlaku.

Subkontraktor Gagal Menjalankan Kewajiban? Ada beberapa penyebab yang menjadi subkontraktor gagal menjalankan kewajibannya antara lain:

  • Masalah Keuangan: Subkontraktor bisa mengalami kesulitan arus kas, terutama jika belum menerima pembayaran dari proyek sebelumnya, atau mengambil terlalu banyak pekerjaan.
  • Manajemen Proyek yang Buruk: Kegagalan sering terjadi ketika subkontraktor menerima terlalu banyak pekerjaan dan tidak memiliki kemampuan untuk mengelolanya dengan baik, yang dapat menyebabkan kekacauan pada proyek.

Pada dasarnya, penyelesaian sengketa dalam perjanjian jasa konstruksi didasarkan pada kemusyawaratan yang bertujuan mencapai mufakat. Apabila kemufakatan tidak berhasil dicapai, maka selanjutnya ditempuh upaya penyelesaian sengketa yang telah dicantumkan dalam kontrak. Adapun alternatif penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh diantaranya melalui litigasi maupun non litigasi. Litigasi merupakan proses penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui pengadilan,

sedangkan non litigasi merupakan proses penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan, misalnya melalui mediasi, konsiliasi, serta arbitrase.

Jika subkontraktor tidak menjalankan kewajibannya, kontraktor utama bisa mengambil langkah-langkah sebagai berikut:

  • Kaji Kontrak Subkontraktor: Periksa kembali perjanjian kontrak subkontrak untuk memahami hak dan kewajiban kedua belah pihak, serta klausul mengenai pelanggaran kontrak dan pemutusan hubungan kerja.
  • Kirim Surat Peringatan (Somasi): Berikan pemberitahuan tertulis kepada subkontraktor mengenai pelanggaran kewajibannya. Dalam somasi, jelaskan secara spesifik kewajiban yang dilanggar dan berikan jangka waktu bagi subkontraktor untuk memperbaikinya.
  • Negosiasi dan Mediasi: Coba selesaikan masalah melalui negosiasi secara langsung atau mediasi dengan pihak ketiga jika memungkinkan, sebelum mengambil langkah hukum yang lebih drastis.
  • Ajukan Gugatan Wanprestasi: Jika subkontraktor tetap tidak memenuhi kewajibannya setelah diberi kesempatan, Anda dapat mengajukan gugatan perdata ke pengadilan atas dasar wanprestasi (cidera janji), seperti yang diatur dalam Pasal 55 ayat (2) KUH Perdata.
  • Permohonan PKPU atau Pailit: Jika subkontraktor tidak mampu secara finansial atau memiliki utang kepada kreditur lain, Anda bisa mengajukan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) atau permohonan pailit ke Pengadilan Niaga. 

Kontraktor juga dapat mempertimbangkan pemutusan kontrak, namun hal ini harus dilakukan sesuai dengan klausul kontrak dan mungkin memerlukan pendampingan hukum profesional untuk meminimalkan risiko seperti denda atau keterlambatan proyek.